Meningkatkan Retensi dengan Internal Employer Branding

Banyak perusahaan memandang bahwa gaji dan tunjangan saja cukup untuk mempertahankan karyawan, namun karyawan sekarang lebih memilih bekerja di perusahaan yang memiliki reputasi yang bagus. Bahkan untuk skala bisnis yang kecil, perusahaan juga perlu memperhatikan brand management mereka untuk mempertahankan talent dan menarik kandidat yang berkualitas (Blankenship, 2022). Aktivitas untuk mengelola brand ini disebut sebagai employer branding.

Proses employer branding yang efektif harus dilaksanakan baik secara eksternal maupun internal. Secara eksternal, perusahaan perlu melaksanakan branding untuk menarik talenta potensial dari luar. Secara internal, departemen SDM harus memastikan bahwa karyawan dapat memvalidasi Employee Value Proposition (EVP) perusahaan, termasuk ekspektasi karyawan terhadap pengalaman setiap hari (Cascio & Graham, 2016). Proses ini dimulai dari rekrutmen karyawan hingga sepanjang Employee Life Cycle (ELC). Untuk memahami proses internal employer branding, berikut elemen-elemen yang berada di dalamnya:

  1. Brand Identity & Brand Image

Brand identity adalah tentang bagaimana perusahaan mengidentifikasi dirinya. Hal ini berkaitan dengan brand voice, brand name, tagline, brand association, dan lain sebagainya. Inilah yang pada umumnya dikomunikasikan perusahaan saat hendak membentuk brand mereka. Di sisi lain, kita juga mengenal istilah brand image, yaitu persepsi orang lain terhadap brand perusahaan. Keselarasan antara brand identity dan brand image inilah yang hendak dicapai perusahaan ketika mengelola employer branding mereka.

  1. Misi dan Visi Perusahaan

Misi dan visi perusahaan merupakan salah satu fondasi saat membangun brand identity. Ketika hendak menanamkan persepsi yang positif tentang perusahaan, misi dan visi dapat menjadi pesan utamanya: “Why we exist?” (misi) serta “What we want to be?“ (visi) (Greyser & Urde, 2019).

  1. Budaya (Culture)

Budaya perusahaan merupakan nilai, etika, perilaku, dan lingkungan kerja yang ada dalam perusahaan. Budaya ini mewakili realita yang ada dalam perusahaan sehingga dapat digunakan sebagai brand message yang autentik untuk disampaikan kepada target kandidat maupun karyawan yang ada saat ini. Pada umumnya, budaya harus selaras dengan misi dan nilai perusahaan untuk memperkuat hubungan dan kepercayaan antara karyawan dengan perusahaan.

INTERNAL MARKETING

Kegiatan yang dilakukan dalam usaha membangun employer branding secara internal juga dikenal sebagai internal marketing. Perusahaan mempromosikan tujuan, budaya, brand, produk, hingga layanan pada seluruh karyawan. Pada umumnya, internal marketing memiliki tujuan yang berbeda dengan marketing yang dilakukan perusahaan pada pelanggan dan calon pembelinya. Internal marketing bertujuan untuk menyediakan informasi yang dapat membentuk persepsi positif karyawan terhadap perusahaan (Backhaus, 2016). Persepsi yang positif tersebut merupakan salah satu indikator leading yang membuat karyawan tetap bertahan di perusahaan. Oleh karena itu, agar dapat meningkatkan retensi karyawan, perusahaan perlu mengidentifikasi faktor apa saja yang dapat membuat karyawan bertahan di perusahaan melalui penelitian seputar kontrak psikologi, baik dari sisi perusahaan maupun karyawan agar dapat memberikan pesan internal yang tepat untuk mendukung implementasi internal marketing (Backhaus, 2016).

EMPLOYEE LIFE CYCLE

Ketika Departemen SDM diberikan tanggung jawab untuk mengelola aktivitas internal employer branding, mereka perlu membangun internal brand message yang konsisten dengan apa yang disampaikan kepada pihak eksternal. Lebih lanjut, pesan-pesan ini perlu disampaikan, baik secara verbal maupun non-verbal kepada karyawan di seluruh tahap employee life cycle (Cascio, 2016). Misalkan, jika hendak mendesain pelatihan, Departemen SDM perlu memperhatikan apa saja brand message yang perlu disampaikan. Perusahaan yang mengutamakan nilai-nilai kerja sama, dapat mendesain pelatihannya dengan menggunakan lebih banyak metode team building, diskusi, brainstorming, dan lain sebagainya selain menyampaikan nilai tersebut secara verbal. Dengan menyisipkan brand message selama pelatihan, upaya internal employer branding juga terlaksana.

Referensi:
Backhaus, K., & Tikoo, S. (2004). Conceptualizing and researching employer branding. Career Development International, 9(5), 501-517.
Backhaus, K. (2016). Employer Branding Revisited. Organization Management Journal, 13(4), 193-201. Doi: 10.1080/15416518.2016.1245128
Blankenship, W. (2022, Apr 19). How Internal Employer Branding Helps You Retain Employees. From Okto Post: https://www.oktopost.com/blog/internal-employer-branding-retain-employees/
Cascio, W.F., Graham, B. (2016). New Strategic Role for HR: Leading the Employer Branding Process. Organization Management Journal, 13(4), 1541-6518. Doi: 10.1080/15416518.2016.124464
https://www.feedough.com/brand-identity/ (What is Brand Identity?)
Greyser, S.A., & Urde, M. (2019). What Does Your Corporate Brand Stand For? Harvard Business Review

External Employer Branding: Menarik Kandidat Potensial

Akhir-akhir ini, employer branding menjadi salah satu aktivitas wajib bagi perusahaan yang hendak menarik talenta potensial di workforce market maupun dalam mempertahankan talenta terbaiknya yang ada saat ini. Konsep employer branding semakin mendapatkan perhatian setelah peristiwa pandemi COVID-19, talent war, hingga the great resignation terjadi dan membuat banyak perusahaan kehilangan talentanya. Kesadaran untuk memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas pun semakin meningkat.

Untuk menarik kandidat yang diinginkan, perusahaan perlu melaksanakan external employer branding, yaitu usaha membangun employer brand yang positif di mata target kandidat. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan employer brand attribute yang relevan. Employer brand attribute didefinisikan sebagai ekspresi yang dijanjikan dan diharapkan dari sebuah perusahaan (Bonaiuto, et. al., 2013). Terlepas dari segala macam atribut yang ditawarkan, dalam mengelola employer branding perusahaan perlu fokus pada tiga komponen utama, yaitu (Adams, 2022):

  1. Reputasi

Di era media sosial, segala informasi tentang suatu perusahaan sangat mudah ditemukan. Serangkaian informasi tersebut secara tidak langsung dapat memengaruhi reputasi suatu perusahaan di mata kandidat. Oleh karena itu, reputasi menjadi salah satu alasan kandidat di era modern untuk mempertimbangkan perusahaan yang hendak dilamar. Dalam konteks mengakuisisi dan mempertahankan talenta, reputasi dapat dievaluasi dalam 3C:

      • Career Catalyst

Sejauh dan sejelas apa perusahaan menawarkan kesempatan berkarier bagi karyawan. Pada umumnya, top talent akan lebih memilih perusahaan yang menawarkan jenjang karier yang transparan.

      • Culture (Budaya)

Bagaimana lingkungan kerja dan interaksi antar karyawan benar-benar mencerminkan budaya perusahaan.

      • Citizenship

Sejauh mana perusahaan mampu memberikan dampak positif bagi komunitas atau lingkungan yang lebih besar.

  1. Employee Value Proposition (EVP)

EVP merupakan serangkaian penawaran dan pengalaman yang diberikan organisasi kepada karyawan atau kandidat sebagai timbal balik atas keterampilan, kemampuan, dan pengalaman yang diberikan karyawan atau kandidat untuk organisasi. EVP akan menjadi janji yang dipegang kandidat ketika memutuskan bergabung dalam suatu perusahaan. Janji ini meliputi kompensasi, tunjangan, fasilitas, kesempatan berkembang, atau apapun yang ingin didapatkan kandidat. Jika employer brand selaras dengan EVP, maka perusahaan akan lebih mudah menghadirkan realita yang diharapkan calon karyawan.

  1. Employee Experience (EX)

EX mewakili realita yang dialami oleh kandidat maupun karyawan yang berada di perusahaan. Semakin positif EX, semakin positif dan kuat employer brand sebuah perusahaan. Hal ini terjadi karena terdapat keselarasan antara kenyataan dan persepsi yang berusaha dibangun. Lebih lanjut, kandidat maupun karyawan dengan EX positif juga akan menjadi brand ambassador yang secara aktif menceritakan hal-hal positif yang ada di perusahaannya.

Perusahaan melaksanakan external employer branding dengan tujuan mendapatkan kandidat yang ideal. Untuk meningkatkan employer brand attractiveness, perusahaan perlu memastikan bahwa ketiga komponen di atas sudah selaras. Reputasi yang baik menunjukkan bahwa target kandidat memiliki persepsi yang positif terhadap perusahaan. Hal ini juga perlu didukung dengan EVP yang dikomunikasikan dengan jelas serta realita EX yang mendukung persepsi tersebut.

Referensi:

Adams, B. (2022). Make Your Employer Brand Stand Out in the Talent Marketplace. From Harvard Business Review: https://hbr.org/2022/02/make-your-employer-brand-stand-out-in-the-talent-marketplace

Banta, K. & Watras, M. (2019). Why We Need to Rethink “Employer Brand”. From Harvard Business Review: https://hbr.org/2019/06/why-we-need-to-rethink-employer-brand

Bonaiuto, M., De Dominicis, S., Illia, L., Canovas, R., & Lizzani, G. (2013). Managing Employer Brand Attributes to Attract Potential Future Leaders. Journal of Brand Management, 20(9), 779-792. doi:10.1057/bm.2013.18

Engine Group. (2015). Attracting Top Talent with a Strong Employer Brand. From Youtube: https://youtu.be/A0a8HFz7OEU

Mempersiapkan Human Capital untuk Mencapai Strategi Bisnis

Perusahaan perlu selalu siap menghadapi situasi dengan memperhatikan kesiapannya secara strategis. Dari sisi Human Capital (HC), kesiapan perusahaan secara strategis diukur dari apakah karyawan memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk mengerjakan proses internal yang penting dalam strategy map. Oleh karena itu, dalam mengukur kesiapan perusahaan dari segi HC pertama-tama perusahaan perlu mengidentifikasi strategic job families, yaitu posisi atau pekerjaan yang dapat memberikan dampak terbesar pada peningkatan proses internal tersebut.

Semua pekerjaan penting bagi perusahaan, namun memang ada beberapa pekerjaan yang memberikan dampak terbesar bagi bisnis. John Bronson, VP HR di Williams-Sonoma, menyatakan bahwa hanya orang-orang yang berada di lima job families dapat menentukan 80% dari prioritas strategis perusahaannya. Di sisi lain, Kimberlee Williams, VP HR di Unicco, mengatakan bahwa hanya terdapat tiga job family yang merupakan kunci strategi perusahaannya: project managers, yang mengawasi operasional secara spesifik; operation directors, yang memperluas operasional dalam akun-akun yang spesifik; serta business development executive, yang membantu perusahaan mendapatkan akun baru. Ketiga job families tersebut hanya mempekerjakan 215 orang, kurang dari 4% total karyawan Unicco. Dengan fokus pada aktivitas pengembangan HC di individu-individu yang penting ini, perusahaan dapat secara luar biasa memanfaatkan investasi HC mereka.

TAHAP MEMPERSIAPKAN HUMAN CAPITAL SECARA STRATEGIS

  1. Mengidentifikasi Strategic Job Families

    Strategic job families dapat diidentifikasi dengan berfokus pada isu-isu strategis proses internal (Molina-Morejon, et al., 2017). Pada umumnya, perusahaan dapat menentukan strategic job families dengan memperhatikan prioritas strategi apa yang hendak dicapai. Misalkan, jika perusahaan hendak mengembangkan produk baru, maka memerlukan prioritas strategi utama, yaitu kerja sama product development. Dalam kasus ini, job family yang berperan strategis adalah manajer joint venture program.

  2. Mendefinisikan Profil Kompetensi

    Setelah mendapatkan strategic job families selanjutnya perusahaan dapat menentukan kebutuhan kompetensi yang diperlukan agar dapat sukses mengimplementasikan strategi tersebut. Departemen HR memiliki berbagai macam metode untuk menentukan profil kompetensi tersebut. Salah satu caranya dalah dengan mewawancarai karyawan terbaik yang berada di posisi tersebut. Selanjutnya, HR dapat menuliskannya dalam profil kompetensi.

    Profil kompetensi memiliki beberapa elemen yaitu:

    • Knowledge, yaitu terdiri dari pengetahuan umum dan spesifik yang diperlukan untuk dapat sukses melakukan suatu pekerjaan tertentu. Knowledge dibutuhkan agar karyawan dapat memahami konteks dan lingkungan pekerjaannya.
    • Skill, yaitu keahlian yang dibutuhkan untuk mendukung pengetahuan dasar.
    • Value/Attitude, yaitu susunan karakteristik atau perilaku yang dapat menghasilkan kinerja yang luar biasa.
  3. Menilai Kesiapan Strategis HC

    Untuk menilai kesiapan strategis HC secara keseluruhan, perusahaan perlu menilai semua strategic job families yang telah diidentifikasi. Perusahaan dapat melaksanakan beberapa pendekatan, seperti self-assessment, 360-degree feedback, dan lain sebagainya. Penilaian ini digunakan sebagai dasar dalam mendiskusikan kebutuhan pengembangan kemampuan karyawan. Karena berbeda dengan penilaian kinerja pada umumnya, menilai kesiapan strategis HC perlu dilakukan secara terpisah dari penilaian kinerja rutin.

  4. Membangun Laporan Kesiapan Strategis HC

    Setelah mendapat gambaran yang sesungguhnya dari keadaan sekarang, perusahaan dapat membandingkan penilaian tersebut dengan harapan yang dibutuhkan. Berikut contoh dokumen kesiapan strategis HC:

  1. Melaksanakan Program Pengembangan HC

    Jika ditemui gap antara kebutuhan strategic job families yang terkualifikasi dengan kenyataannya, perusahaan perlu memberikan pengembangan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan strategisnya. Tanpa strategy map, perusahaan pada umumnya hanya fokus pada pengembangan SDM secara umum, bukan pada posisi-posisi yang strategis. Di sisi lain, jika perusahaan menginvestasikan pengembangan kompetensi pada orang-orang yang tepat, perusahaan akan mendapatkan manfaat yang signifikan dalam pencapaian strategi.

    Human Capital harus selaras dengan strategi jika organisasi ingin mendapatkan nilai (value) dari kompetensi karyawannya. Dengan menggunakan strategy map, perusahaan dapat mengidentifikasi proses utama bisnis yang bersifat strategis (dalam perspektif internal business process) serta menemukan strategic job families yang memberikan diferensiasi strategis kepada organisasi. Setelah melalui tahap menilai kesiapan HC (HC Readinesss), perusahaan dapat menemukan gap yang harus dihilangkan dengan memberikan bentuk pengembangan HC yang tepat.

Referensi:
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (2004). Measuring the Strategic Readiness of Intangible Assets. Harvard Business Review.
https://agis93.wordpress.com/2011/07/05/strategic-job-families-by-robert-s-kaplan-and-david-p-norton/
Molina-Morejon, V., Vaquera-Hernández, J., & Molina-Romeo, V.P. (2017). Strategic Job Families of the Textile Industry. International Review of Management and Business Research, 6(3). 1083-1095

PROSES DALAM KNOWLEDGE MANAGEMENT

Ketika hendak memahami knowledge management (KM), organisasi perlu terlebih dahulu mengidentifikasi proses utama KM di dalamnya. Dengan mengenali proses tersebut, organisasi dapat membuat standardisasi prosedur yang berkaitan dengan informasi, ide, perspektif, dan pengalaman. Di sini, organisasi dapat dibayangkan seperti sistem terbuka yang memiliki batas-batas otoritas yang jelas sehubungan dengan lingkungannya. Selanjutnya, organisasi dapat mengidentifikasi proses utamanya berdasarkan proses-proses dasar KM, yaitu (Bolisani & Bratianu, 2017):

Continue reading

PERAN KNOWLEDGE MANAGEMENT BAGI ORGANISASI

Organisasi yang mengimplementasikan knowledge management (KM) pada umumnya menginginkan proses dan alur informasi di organisasi berjalan dengan lancar. Hal ini bertujuan agar proses bisnis secara keseluruhan dapat berjalan secara efektif dan efisien. Adapun beberapa peran KM bagi organisasi adalah sebagai berikut:

Continue reading

MENGENAL KNOWLEDGE MANAGEMENT

The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan bahwa knowledge based economy sudah menjadi tren sejak tahun 2005. Hal ini dikarenakan pengetahuan dan teknologi menjadi semakin kompleks sehingga penting bagi organisasi untuk mendapatkan pengetahuan khusus agar dapat terus berinovasi. Lebih lanjut, IGI Global menjelaskan bahwa dalam knowledge-based economy, perekonomian sangat bergantung pada input pengetahuan di mana pengetahuan diciptakan dengan proses sistemik yang menjadi semakin kompleks. Oleh karena itu, organisasi perlu memiliki knowledge management yang baik.

Continue reading

STRATEGI M&A PASKA-PANDEMI

Ketidakpastian lingkungan bisnis akibat pandemi COVID-19 ternyata tidak menghalangi beberapa organisasi untuk tetap melakukan transaksi Merger and Acquistion (M&A), bahkan dalam nilai transaksi yang besar. Meskipun berisiko, transaksi M&A dapat menjadi salah satu strategi untuk mengembangkan bisnis di masa pandemi. Jenny Johnson, CEO perusahaan Franklin Templeton, berhasil membuktikan efektivitas transaksi M&A sebesar $4,5 miliar terhadap organisasi pesaingnya, Legg Mason. Dalam podcast McKinsey (2021), Johnson mengaku merger membawa peningkatan dalam pendapatan tetap, ekuitas, dan profil solusi investasi multi-aset yang lebih luas.

Continue reading

ENAM TANTANGAN MENGUKUR KPI

Ketika berhadapan dengan strategi, kebanyakan perusahaan berhenti di tahap formulasi strategi lalu berharap tujuan yang ditetapkan akan tercapai dengan sendirinya. Tujuan apa pun sulit terwujud ketika kita tidak fokus dalam mencapainya. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengubah cara kerjanya dengan segera menulis roadmap yang jelas dan dimonitor melalui suatu ekspresi yang terukur, yaitu Key Performance Indicators (KPI). 

KPI adalah ukuran kinerja yang dapat diukur dari waktu ke waktu untuk tujuan tertentu. Dalam mengelola kinerja, KPI merupakan ukuran yang umum digunakan, terutama oleh organisasi yang menganut Balanced Scorecard (BSC) sebagai alat manajemen strategisnya. KPI mampu memberikan fokus peningkatan strategis dan operasional, menciptakan dasar analitis untuk pengambilan keputusan, dan memberi fokus pada hal penting lainnya. Menurut Peter Drucker, “What gets measured gets managed,” – ini berarti, semua yang tertuang di KPI dapat dikelola dan mampu ditingkatkan. 

Di lain sisi, menjalankan KPI tidaklah mudah. Pada saat kita memiliki satu sasaran, sering kali ada beberapa pilihan KPI yang bisa menjadi alternatif ukuran keberhasilan sasaran tersebut, namun tidak semuanya relevan. Kedua, ada kalanya suatu KPI menjadi sulit diukur karena upaya pengumpulan datanya sangat mahal dan perusahaan memilih untuk tidak menggunakan KPI itu (contoh: market share). Ketiga, menentukan target KPI sangatlah tidak mudah karena target yang efektif adalah yang mampu meningkatkan motivasi, demikian sebaliknya sehingga kita harus sangat berhati-hati dalam menentukan target tersebut.

Berikut detail tantangan mengimplementasikan KPI dalam organisasi: 

  • Memilih indikator yang tepat.

    What’s the most matters to our organization?” merupakan pertanyaan terbesar untuk menentukan indikator yang tepat. Manakah indikator yang terpenting untuk mengukur peningkatan finansial? IDR Profit ataukah IDR Sales? Jika Anda menjawab IDR Profit, mungkin fokus Anda adalah mendapatkan keuntungan bagi perusahaan. Anda mungkin ingin menuliskan Objective: “Meningkatkan Profit”. Sebaliknya, jika menjawab IDR Sales, Anda memang mementingkan peningkatan penjualan sehingga pilihlah Objective: “Meningkatkan Penjualan”. Manakah dari kedua ini yang tepat bagi perusahaan? Jawabannya adalah yang paling relevan dengan kebutuhan perusahaan.

    Strategic Management Officer (SMO) atau unit apapun yang berperan untuk mengelola strategi perlu memastikan semua orang memahami Objective sehingga ada keselarasan. Setelah memahami Objective, masing-masing departemen akan lebih mudah menentukan KPI yang sesuai dan berkontribusi. Tanpa memahami apa yang dibutuhkan perusahaan, KPI yang keliru bisa saja menjadi pedoman selama satu tahun.

  • Mengumpulkan data.

    Untuk mengukur KPI dengan akurat, biasanya diperlukan pengumpulan data dari berbagai sumber. Sumber data KPI bisa melalui survei, ERP, operasi internal, laporan benchmark, dan sumber eksternal lainnya. Sering kali, pemilik KPI bekerja secara silo sehingga kesulitan mengakses data yang tidak dimiliki. Pengumpulan data mungkin memerlukan keterlibatan IT, pembelian data, dan mekanisme yang lama dan mahal. 

  • Target setting

    Target setting bersifat personal. Artinya, untuk mencapai target adalah kewajiban setiap anggotanya. Oleh karena itu, organisasi perlu memastikan bahwa target KPI yang berkontribusi tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Target yang terlalu tinggi membuat demoralisasi karyawannya. Karena dikaitkan dengan bonus, target yang nampak tidak mungkin tersebut bisa saja membuat karyawan ogah menggapainya. Sebaliknya, target yang rendah memang menggiurkan bagi karyawan, namun tidak berkontribusi bagi kemajuan organisasi. Target rendah yang setara dengan standar, sebaiknya tidak dimasukkan ke penilaian kinerja.

  • Menganalisis hasil KPI

    Tercapai atau tidaknya KPI akan menjadi percuma jika tidak dianalisis dengan baik. Tujuan utama menerapkan KPI adalah pembelajaran bagi organisasi. Jika organisasi tidak belajar apapun, penerapan KPI akan menjadi percuma karena organisasi tidak memahami bagaimana praktik yang terbaik untuk mencapai target.

    Selain itu, analisis KPI memberikan gambaran pertumbuhan organisasi dari waktu ke waktu. Analisis KPI bisnis membutuhkan pemahaman data yang dengan sangat baik, bagaimana mencampur, dan mencocokkan data dari sumber data yang berbeda. Selanjutnya, organisasi harus mampu menyimpulkan dan mengevaluasi alasan di balik keberhasilan dan kegagalan KPI untuk penetapan KPI di periode selanjutnya.

  • Mendokumentasikan KPI.

    Dokumentasi atau manual KPI adalah tentang menyusun informasi yang relevan mengenai indikator yang diberikan. Penting bagi organisasi untuk menginformasikan formula KPI yang telah disetujui. Dengan adanya dokumentasi, organisasi dapat mengelola pengetahuan (knowledge management), memastikan KPI dipahami, dan sebagai standar untuk dikomunikasikan. Organisasi besar umumnya lebih kesulitan mendokumentasikan KPI karena jumlah KPI personal yang banyak dan harus digabungkan. Untuk memudahkan, organisasi dapat membangun Strategic Management Office (SMO) yang akan membantu organisasi mengelola strategi. 

  • Visualisasi Data. 

    Visualisasi data akan memudahkan orang lain memahami KPI melalui tampilan garis atau grafik. Kegiatan ini adalah tantangan teknis setiap pemilik KPI, terutama bagi mereka yang tidak familiar dengan penggunaan aplikasi yang mendukung. Melalui tampilan visual, kenaikan dan penurunan akan langsung memberikan informasi yang akurat. Ini berarti, data-data yang didokumentasikan dalam KPI juga harus merupakan data yang benar dan berintegritas. 

Tidak mudah untuk menerapkan KPI, namun ini adalah beberapa saran kami atas kesulitan di atas. Pertama, kita harus memilih KPI yang relevan dengan sasarannya. Kedua, memilih KPI berdasarkan data yang sudah ada di dalam organisasi akan jauh lebih mudah dalam mengumpulkan data KPI. Ketiga, gunakan data kinerja yang ada sebagai baseline penentuan target KPI. Keempat, data KPI yang sudah dikumpulkan dari waktu ke waktu perlu divisualisasikan dalam sebuah grafik tren dan dianalisis kenaikan atau penurunannya. Kelima, setiap KPI memerlukan definisi formula perhitungannya sehingga tidak menimbulkan perselisihan di akhir periode KPI, apalagi ketika KPI dikaitkan dengan reward.

Referensi:
https://dashboardfox.com/blog/what-is-a-kpi-benefits-challenges-examples/
https://hbr.org/2010/10/what-cant-be-measured/ 
https://www.abtasty.com/blog/key-performance-indicator/
https://www.clicdata.com/kpi/analysis/
https://www.pdagroup.net/en/spotlight/challenges-that-keep-you-from-achieving-your-kpis
https://www.performancemagazine.org/why-use-kpi-documentation-forms/
https://www.qlik.com/us/kpi
https://www.rhythmsystems.com/blog/5-reasons-why-you-need-kpis-infographic
https://www.simplekpi.com/Blog/The-5-Essential-KPIs-Challenge
https://www.truesky.com/set-it-and-forget-it-overcoming-common-kpi-challenges/

OKR & KPI INTEGRATION

Untuk mencapai Objective, organisasi umumnya mengenal alat manajemen kinerja yang dapat membantu melacak kemajuan, seperti: Management by Objective (MBO), Objective and Key Results (OKR) dan Balanced Scorecard (BSC). Ketiga pendekatan ini pada dasarnya menggunakan ukuran keberhasilan sebuah Objective tercapai atau tidak, yang kita kenal dengan istilah Key Performance Indicators atau Key Results. Meski sekilas nampak mirip, sebenarnya kedua metode atau ukuran ini (OKR & KPI) memiliki perbedaan.

OKR sendiri awalnya dipopulerkan oleh John Doerr di tahun 1999 saat ia memiliki proyek Manajemen Kinerja dengan Google. Doerr terinspirasi oleh Andy Groove yang menggunakan OKR sebagai penggerak eksekusi strategi di Intel sekitar tahun 1970-an. Singkatnya, Doerr merangkum OKR menjadi sebuah kalimat atau formula yang terkenal, yaitu Saya akan … (Objective) yang diukur dengan … (set of Key Results).

(BACA SELENGKAPNYA TENTANG OKR: APA ITU OKR?)

KPI adalah adalah indikator keberhasilan yang penting atau relevan untuk melacak kemajuan pencapaian sasaran yang diinginkan. KPI memberikan fokus bagi organisasi untuk mencapai sasaran strategis, meningkatkan proses operasional, memperkuat dasar pengambilan keputusan, dan memusatkan perhatian pada hal yang paling penting. Jika indikator KPI terlalu banyak dan tidak berhubungan, maka akan menciptakan kebingungan saat menilai indikator-indikator yang penting tersebut.

(BACA SELENGKAPNYA TENTANG KPI: MENGUKUR KINERJA ORGANISASI DENGAN KEY PERFORMANCE INDICATOR)

Berikut detail perbedaan di antara OKR dan KPI:

OKRKPI
Dibuat berdasarkan aspirasi pribadi: inisiatif yang ingin dikerjakan (yang selaras dengan objective perusahaan)Dibuat berdasarkan keselarasan strategi, inisiatif, deskripsi pekerjaan, dan pemecahan masalah.
Pendekatan bottom-upPendekatan top-down
Ditinjau setiap 3 bulanDitinjau berdasarkan periode tertentu (bulanan/tahunan)
Setiap Objective setidaknya memiliki 3 Key ResultsSetiap Objective memiliki 1-3 KPI
Dapat berubah setiap 3 bulanBerubah hanya jika diperlukan
Didesain untuk berkembang dan meregangDidesain agar realistis
Pencapaian pada angka 60-70% sudah dianggap bagus karena target menantang (challenging & aspirational)Mendorong pencapaian 100% karena target bersifat SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound)
Secara parsial memengaruhi kompensasi (non-financial rewards)Terkait langsung dengan kompensasi (financial rewards)

Umumnya, perusahaan menerapkan KPI dari top management hingga front line karena KPI dianggap telah mewakili lagging dan leading indicators yang dibutuhkan untuk sukses. Padahal, perusahaan dapat memanfaatkan pendekatan OKR yang bottom-up untuk menyelaraskan aktivitas di setiap tingkat.

Keduanya dapat bekerja sama dengan cara:

  1. Gunakan OKR sebagai ukuran leading dan KPI sebagai ukuran lagging.

    Indikator leading dan lagging adalah dua tipe pengukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja di dalam bisnis atau organisasi. Indikator leading adalah pengukuran prediktif, misalkan kasus kepatuhan di area pabrik merupakan indikator leading untuk sebuah Objective, yaitu Meningkatkan Keselamatan Kerja. Di lain sisi, indikator lagging adalah pengukuran untuk output atau hasil, misalkan kasus kecelakaan kerja merupakan indikator lagging Meningkatkan Keselamatan Kerja. Perbedaaan di antara keduanya adalah indikator leading dapat mempengaruhi perubahan dan indikator lagging hanya dapat merekam apa yang terjadi.

    OKR, karena periodenya yang lebih pendek (yaitu 3 bulan) sehingga memungkinkan untuk dinamis, sering kali menjadi Leading Indicator untuk mencapai KPI, yang identik dengan ukuran-ukuran yang bersifat outcome dan merupakan end result yang diinginkan perusahaan. Perpaduan keduanya akan menjamin pencapaian KPI dan harapannya adalah pencapaian KPI bisa melebihi harapan/target yang ada.

  1. Gunakan KPI untuk menjaga Business as Usual (BAU) dan OKR untuk aktivitas continuous improvement.

    KPI biasanya untuk menjaga BAU, yang artinya: dengan mencapai KPI, perusahaan dapat dikatakan memiliki kinerja yang bagus. BAU mengindikasi bahwa target KPI adalah target yang sudah dicanangkan dalam tahun fiskal, terlepas itu adalah indikator keuangan atau lainnya (bisa operational excellence atau HR excellence), sedangkan OKR diharapkan untuk mencapai target-target yang fantastis (sehingga tidak diharapkan pencapaian 100%, melainkan 60% saja) supaya memicu proses belajar dan mendorong adanya perbaikan berkelanjutan (Continuous Improvement).

    Continuous improvement adalah konsep yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan melalui progres yang berkelanjutan. Ini adalah perjuangan yang tidak ada akhirnya, namun harus dilakukan untuk bertahan. OKR yang bersifat aspirasional cocok digunakan fokus pada peningkatan yang agresif, sedangkan KPI adalah ukuran target yang menjadi patokan awal ketika organisasi mencanangkan target kinerja.

  1. OKR sebagai talent pool, KPI sebagai dasar bonus.

    Ketika menerapkan OKR, ini adalah kesempatan untuk perusahaan mengidentifikasi karyawan adalah seorang Talent atau bukan. Seorang Talent adalah seseorang yang menyukai tantangan dan menginginkan adanya progress yang agresif dan pertumbuhan yang positif. OKR dengan target yang tinggi akan membuat seorang Talent belajar lebih baik dibandingkan kalau dia hanya mendapatkan target yang moderat.

    Di lain pihak, perusahaan tetap membutuhkan KPI, yang pencapaiannya diharapkan 100%, dan ini adalah target kinerja yang sudah ditetapkan oleh organisasi atau perusahaan. Pencapaian target KPI akan mengindikasikan perusahaan mencapai hasil yang diharapkan dan perolehan ini akan menjadi dasar untuk memberikan bonus.

  1. Berikan OKR kepada individu dan KPI kepada departemen atau organisasi.

    Baik OKR maupun KPI sama-sama diharapkan mampu menjadi sarana pembelajaran perusahaan dan individu. Sayangnya, KPI yang digunakan sebagai dasar bonus prestasi, cenderung membuat karyawan menurunkan targetnya untuk mendapatkan bonus tersebut. Banyak perusahaan menjadi kecewa karena perkembangan perilaku ini sehingga OKR bisa menjadi jawaban atas permasalahan tersebut.

    Kami menyarankan bahwa OKR sebaiknya diberikan kepada individu agar mereka terus berkembang lewat target-target yang besar dan menantang tanpa takut mendapatkan ganjaran negatif dan positif, sedangkan KPI diberikan kepada departemen atau organisasi sehingga unit organisasi yang lebih besar tetap memiliki akuntabilitas kinerja yang jelas dan mendapatkan ganjaran yang sesuai dengan pertumbuhan organisasi. Penempatan OKR dan KPI seperti ini diharapkan mewadahi dinamika kinerja individu dan unit/organisasi sehingga tercipta keseimbangan yang dinamis dan pro perubahan positif.

     

Pada dasarnya, OKR dan KPI merupakan dua metode yang berbeda, namun saling melengkapi. Penerapan OKR dan KPI dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kematangan organisasi. Terkadang, ada situasi di mana OKR dan KPI lebih efektif jika tidak digunakan secara bersamaan tergantung pada tingkat perkembangan organisasi. Jika organisasi perlu memiliki hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah ada, organisasi dapat fokus menggunakan OKR. Jika organisasi hanya ingin mengukur dan mempertahankan kinerja karyawannya, KPI mungkin menjadi pilihan yang lebih baik. Jika organisasi perlu melakukan transformasi dan tetap fokus mempertahankan kinerja yang sudah ada, gabungan OKR dan KPI akan lebih efektif.

Referensi:
https://bernardmarr.com/what-is-a-leading-and-a-lagging-indicator-and-why-you-need-to-understand-the-difference/
https://kanbanize.com/lean-management/improvement/what-is-continuous-improvement
https://kpi.org/KPI-Basics
https://lazaroibanez.com/productivity-okr-vs-kpi-can-they-work-together-5e9992915a9a
https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2020/10/23/whats-the-difference-between-lagging-and-leading-indicator/
https://www.intrafocus.com/lead-and-lag-indicators/
https://www.okracademy.com/okr-blog/okrs-and-kpis
https://www.perdoo.com/resources/okr-vs-kpi/
https://www.reflektive.com/blog/okrs-and-kpis-what-they-are-and-how-they-work-together/
https://www.tlnt.com/how-kpis-and-okrs-work-together-to-achieve-results/

TIPS MENGADOPSI OKR UNTUK STARTUP

Menurut studi Cambrige Associates (2017), dari 27.000 startup, hampir 60% di antaranya mengalami kegagalan. Laporan lain dari Emborker (2021) menyatakan bahwa 42% startup gagal akibat salah mendefinisikan pasar, sedangkan 29% lainnya gagal akibat kurang mampu mengelola dana. Untuk mengatasi masalah tersebut, startup membutuhkan lebih dari sekadar keberuntungan. Startup yang sukses membutuhkan framework manajemen kinerja yang tepat.

Continue reading