KEPUTUSAN YANG EFEKTIF

Eksekutif yang efektif membuat keputusan dimulai dengan opini terlebih dahulu. Tentu saja opini ini tak lebih dari hipotesis yang belum teruji, dan karena tidak bernilai kecuali diuji terhadap kenyataan. Untuk menentukan apa saja fakta yang diperlukan untuk menguji hipotesis tersebut, diperlukan keputusan tentang kriteria relevansi terutama mengenai pengukurannya. Inilah tempat bergantung keputusan yang efektif.

Opini yang akan diuji menggunakan sebuah hipotesis yang dibuat oleh eksekutif, dengan bertanya: “Apa yang harus diketahui untuk menguji validitas hipotesis ini?” dan “Fakta-fakta apa yang seharusnya diperlukan untuk membuat pendapat ini dapat diterima?”  Untuk menguji opini terhadap kenyataan, eksekutif yang efektif membentuk kebiasaan di dalam dirinya dan orang-orang yang bekerja di sekitarnya untuk memikirkan hipotesisnya dengan tuntas dan mengungkapkan apa yang perlu dilihat, dipelajari, dan diuji.

Jenis keputusan yang dibuat oleh eksekutif bukanlah jenis yang dibuat secara baik melalui aklamasi, melainkan dari pandangan yang saling bertabrakan antar orang yang ada di dalam perusahaan. Perbedaan pendapat inilah yang membuat seorang eksekutif mengambil sebuah keputusan. Oleh karena itu, eksekutif menemukan dua cara untuk mendorong perbedaan pendapat:

  • Perbedaan pendapat adalah satu-satunya pelindung bagi pengambil keputusan agar tidak menjadi seorang “tawanan” prasangka dalam organisasi.
  • Hanya perbedaan pendapat yang dapat menyediakan alternatif bagi sebuah keputusan. Karena sebuah keputusan tanpa alternatif diistilahkan sebagai dadu yang dilempar oleh petaruh yang putus asa. Oleh karena itu, alternatif adalah suatu pijakan untuk seorang eksekutif dalam proses pembuatan keputusan.

Sebagian besar permasalahan tidak akan terselesaikan dengan sendirinya. Oleh karena itu, perlu adanya pembuatan keputusan yang efektif dengan membandingkan upaya dan risiko bertindak dan tidak bertindak. Tidak ada formula yang pasti untuk membuat keputusan yang tepat. Tetapi panduannya sangat jelas, yaitu: (1) kita bertindak apabila keuntungannya lebih besar daripada biaya dan risiko; atau (2) kita bertindak atau tidak bertindak, jangan “setengah-setengah”.

Zaman sekarang ada satu teknologi yang bisa membantu seorang eksekutif untuk membuat keputusan, teknologi ini adalah Artificial Intelligence (AI). Berikut adalah fungsi AI:

  • Memikirkan simpulan apa yang akan muncul dari asumsi tertentu yang dibuat tentang masa depan yang belum jelas.
  • Membebaskan para eksekutif senior dari banyak kesibukan dengan berbagai peristiwa di dalam organisasi yang sejauh ini telah mengurung mereka lantaran tidak adanya atau terlambatnya informasi yang dapat diandalkan.
  • Memaksa orang mengambil keputusan sehingga manajer madya berubah dari operator menjadi eksekutif yang efektif. Tanpa adanya pembuat keputusan, sistem kecerdasan pun tidak dapat beroperasi.

 

Referensi:
Drucker, P. (2006). The Effective Executive. Saint Louis: Routledge.

KONTRIBUSI APA YANG SAYA BERIKAN?

“Kontribusi apa yang bisa saya berikan, yang akan memengaruhi secara signifikan kinerja dan hasil organisasi yang saya layani?” Kebanyakan eksekutif lebih berfokus kepada usaha yang dilakukan daripada hasil-hasilnya. Orang-orang yang berfokus pada proses kerja dan menekankan otoritas ke bawahnya adalah seorang “bawahan” yang tidak peduli betapapun tinggi gelar dan jabatannya. Namun, orang yang berfokus kepada kontribusi dan mengambil tanggung jawab atas segala hasil, akan dianggap sebagai “manajemen puncak” walaupun dia adalah seorang junior.

Setiap organisasi memerlukan adanya pemenuhan atau kinerja dalam tiga bidang utama, yaitu:

  • Organisasi membutuhkan hasil-hasil langsung yang dapat dilihat dengan jelas.
  • Berkomitmen untuk membangun dan meneguhkan ulang nilai-nilai mereka secara rutin.
  • Membangun dan mengembangkan manusia untuk masa depan.

Pekerja pengetahuan (knowledge worker) menghasilkan gagasan, informasi, dan konsep. Mereka biasanya adalah seorang spesialis. Seorang spesialis harus memikirkan secara matang siapa yang akan menggunakan output-nya serta apa yang perlu diketahui dan dipahami pengguna (pelanggan) agar dirinya bisa menjadi seorang yang efektif. Jika seseorang ingin menjadi eksekutif, dia harus peduli dengan keterpakaian “produk”-nya.

Selain memikirkan dengan matang tentang pengguna output-nya, hubungan manusia yang tepat juga perlu dibina. Hubungan baik dengan manusia terbina apabila mereka berfokus pada kontribusi dalam pekerjaan mereka sendiri dan dalam hubungan mereka dengan orang lain. Ketika hubungan baik terjalin, pekerjaan akan dapat lebih dinikmati dan juga para pekerja akan lebih mudah untuk beradaptasi dengan perubahan yang diimplementasikan. Hubungan yang baik juga bisa membuka kesempatan baru untuk Anda.

Hubungan manusia yang tepat menjadi salah satu fokus kontribusi, dan dengan sendirinya memasok persyaratan dasar hubungan manusia yang efektif, antara lain:

  • Komunikasi
  • Kerja tim
  • Pengembangan diri
  • Pengembangan orang lain

Selain itu, pertemuan yang efektif juga merupakan bentuk kontribusi dalam sebuah perusahaan. Rapat, laporan, dan presentasi adalah situasi tipikal kerja seorang eksekutif. Hal yang utama dalam mengadakan pertemuan yang efektif adalah memfokuskan rapat itu sejak awal berkontribusi agar tidak melenceng dari agenda. Tentunya sebuah agenda harus telah tersusun sebelum rapat dimulai agar semua peserta rapat memiliki arahan tentang apa saja yang harus mereka bahas saat rapat.

Waktu juga elemen penting dalam sebuah perusahaan sehingga rapat juga harus dimulai dan diakhiri tepat waktu. Tidak ada perbedaan dalam waktu setiap orang, semuanya sama-sama berharga baik bagi atasan maupun bawahan. Jika rapat diakhiri dengan waktu yang telah ditentukan, ini akan lebih menjamin untuk orang-orang mencapai kesepakatan yang ada di dalam agenda dan mereka akan kembali bekerja tepat waktu. Sebuah rapat juga perlu diakhiri dengan action plan. Setelah kesepakatan dicapai, maka harus ada seseorang yang terpilih untuk mengendalikan pelaksanaan hasil keputusan dari rapat tersebut.

 

Referensi:
BillT, Louis, J., Midgie, Mind Tools Content Team, Mind Tools Content Team, & Mind Tools Content Team. (n.d.). Building Great Work Relationships: Making Work Enjoyable and Productive. Retrieved from https://www.mindtools.com/pages/article/good-relationships.htm
How to Run a More Effective Meeting. (n.d.). Retrieved from https://www.nytimes.com/guides/business/how-to-run-an-effective-meeting
Drucker, P. (2006). The Effective Executive. Saint Louis: Routledge.

TEKNOLOGI DALAM PEKERJAAN

Kemajuan teknologi telah mengubah dunia, termasuk dunia pekerjaan. Segala bentuk teknologi yang digunakan dalam pekerjaan adalah bagian technological environment yang memengaruhi 30% dari employee experience. Hal ini meliputi aplikasi hingga hardware dan software, bahkan user interface dan desain.

Jika sarana teknologi yang digunakan dalam pekerjaan bermasalah, maka segala sesuatu di sekitarnya pun ikut bermasalah. Permasalah-permasalahan teknologi tersebut dapat berupa informasi yang menghilang saat dibutuhkan, kerepotan untuk menyelesaikan sesuatu yang sebenarnya sederhana, dan belum lagi sesuatu yang tiba-tiba eror. Permasalahan ini juga akan berdampak pada hubungan manusia di dalam lingkungan kerja. Bayangkan saja bagaimana karyawan yang sedang frustasi berinteraksi dengan karyawan yang lain.

Masalah pada teknologi yang digunakan membuat pekerjaan semakin sulit untuk dilakukan. Hasilnya, karyawan merasa jengkel dan sakit hati pada perusahaan yang tidak berusaha melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi. Menurut Jacob Morgan, perusahaan perlu berfokus pada beberapa karakteristik utama dalam akronim ACE. Karakterisik ini saat diaplikasikan menciptakan technological environment yang baik untuk karyawan.

  • Availability to everyone

    Kerap kali perusahaan membeda-bedakan karyawan dan membatasi karyawan tertentu dalam mengakses teknologi. Misalnya, suatu teknologi hanya diberikan untuk tim tertentu. Dalam situasi seperti itu, tidak terelakkan bahwa karyawan lain merasa tidak dipentingkan. Prinsip yang perlu dipegang adalah teknologi yang disediakan untuk kelompok karyawan harus bisa diakses oleh semua karyawan. Hal ini menunjukan komitmen perusahaan untuk mendorong inovasi, kerja sama, dan komunikasi.

  • Consumer grade technology

    Mendesain teknologi dengan sangat baik, berguna, dan bernilai sehingga Anda sendiri akan mempertimbangkan menggunakan teknologi yang serupa dalam kehidupan pribadi Anda. Perubahan ini membuat karyawan lebih enganged dan efektif dalam pekerjaan. Untuk menerapkan hal ini, coba perhatikan teknologi yang digunakan karyawan dalam kehidupan sehari-hari dan lihat apa saja nilai poisitif yang bisa dibawa ke dalam teknologi perusahaan.

  • Employee needs vs business requirements

    Kebanyakan departemen Information technology (IT) menentukan teknologi yang digunakan hanya berdasarkan checklist. Mereka tidak berusaha memahami bagaimana karyawan bekerja. Masalahnya, bagaimana karyawan bekerja sering kali tidak sesuai dengan checklist spesifikasi teknis milik perusahaan. Di sinilah muncul kesempatan kolaborasi antara departemen IT dan Human Resource (HR). Pihak IT perlu menjadi lebih fleksibel dan terbuka dalam memahami kebutuhan karyawan dan pihak HR perlu menyikapi potensi masalah dalam meluncurkan teknologi yang baru dalam perusahaan.

 

Referensi:
Morgan, J. (2017). The employee experience advantage: How to win the war for talent by giving employees the workspaces they want, the tools they need, and a culture they can celebrate. New Jersey: John Wiley & Sons.

MOMEN YANG BERARTI

Tidak setiap hari berlalu seperti hari-hari biasanya. Ada hari dengan momen istimewa yang dapat menyentuh dan memengaruhi seseorang lebih dibandingkan momen-momen lainnya. The moments that matter, itulah frasa yang digunakan Jacob Morgans untuk menyebut momen ini.

Momen-momen yang kuat pengaruhnya ini harusnya tidak disia-siakan, sebaliknya perlu dimanfaatkan untuk mengelola employee experience. Mengelola momen-momen ini menunjukkan kemampuan manajemen memerhatikan karyawan secara personal. Dalam memahami macam momen yang berarti, Jacob Morgan mengidentifikasi tiga ketagori.

  1. Specific moments (Momen yang spesifik)

    Momen-momen spesifik yang signifikansinya jelas terlihat. Misalnya: hari pertama bekerja, mendapat promosi jabatan, membeli rumah, memiliki anak, dan sebagainya. Momen yang spesifik menjadi istimewa karena tidak terjadi setiap saat.

  1. Ongoing moments (Momen yang berlangsung)

    Momen yang tidak dapat dengan jelas didefinisikan. Momen yang berlangsung ditemukan pada interaksi setiap hari dalam pekerjaan. Misalnya seorang pimpinan yang secara pribadi memberi ucapan terima kasih ataupun seorang kolega kerja yang mencuri hasil kerja Anda, kedunay bagian dari momen yang berlangsung yang memengaruhi employee experience.

  1. Created moments (Momen yang diciptakan)

    Momen yang diciptakan perusahaan. Misalnya: pesta, acara kekeluargaan, perlombaan, atau hackathons. Biasanya diciptakan karena dianggap penting dan difokuskan menjawab tantangan atau permasalahan tertentu yang dihadapi perusahaan.

Anggaplah besok ada karyawan baru di perusahaan Anda, apa yang dapat Anda lakukan pada momen yang berarti ini? Bagaimana menyampaikan sense of purpose dan belonging pada karyawan ini? Ada banyak kemungkinan jawaban. Anda dapat mempertemukan karyawan Anda dengan seorang pelanggan. Anda dapat juga mempertemukan karyawan dengan seorang dari jajaran eksekutif yang menceritakan visi perusahaan dan menjelaskan bagaimana pekerjaan karyawan ini berkontribusi membawa perusahaan mencapai visi tersebut. Di sini bentuk personalisasi terlihat.

Masing-masing perusahaan perlu mengidentifikasi dan melibatkan karyawan untuk dapat memaksimalkan potensi momen yang berarti. Hal ini dilakukan dengan mengajak karyawan berpartisipasi dalam focus group, diskusi, atau survei di mana mereka dapat menceritakan momen yang berarti dalam perjalanan karir mereka. Perusahaan kemudian menanggapi masukan yang diterima dengan membuat rencana untuk merespons momen yang berarti bagi karyawan dengan tepat. Tentunya rencana pun dibuat berdasarkan feedback karyawan dan aspek-aspek yang menjadi fokus employee experience yang dikerjakan perusahaan.

Referensi:

Morgan, J. (2017). The employee experience advantage: How to win the war for talent by giving employees the workspaces they want, the tools they need, and a culture they can celebrate. New Jersey: John Wiley & Sons.

SUASANA DAN RASA DI TEMPAT KERJA

Disadari atau tidak, dirancang atau tidak, budaya perusahaan akan selalu hadir. Jacob Morgan dalam buku Employee Experience Advantage melaporkan bahwa budaya perusahaan membentuk 60% employee experience. Sesuatu yang begitu besar pengaruhnya pada karyawan tentu perlu ditangani perusahaan secara aktif. Hal ini berarti perusahaan mengambil langkah merancang dan mengarahkan budayanya secara strategis.

Budaya perusahaan merupakan suasana atau rasa yang tercipta dalam perusahaan dan segala tindakan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau rasa tersebut. Lebih lanjut, Jacob Morgan menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan untuk menghadirkan budaya perusahaan yang baik. Morgan memaparkan sepuluh atribut yang disingkatnya menjadi CELEBRATED:

  1. Company is viewed positively – Bagaimana perusahaan dilihat oleh publik akan memengaruhi bagaimana perusahaan dilihat oleh karyawan. Perusahaan perlu mengambil inisiatif dalam membentuk image positif dan memantau pandangan publik terhadap perusahaan.
  2. Everyone feels valued – Agar seseorang merasa dirinya bernilai, dia harus dihargai terlebih dahulu. Hal yang paling mendasar adalah karyawan merasa diberi bayaran yang adil.
  3. Legitimate sense of purpose – Perusahaan dapat menunjukkan bagaimana hal yang dikerjakan karyawan penting dalam mencapai visi perusahaan. Tunjukkan pula bagaimana pekerjaan karyawan memberi dampak pada pelanggan, komunitas, dan bahkan pada dunia.
  4. Employees feel like they are part of a team – Menjadi bagian tim membuat orang lebih bermotivasi untuk bekerja. Perusahaan dapat menumbuhkan rasa menjadi bagian tim dengan berfokus pada tim, misalnya reward diberikan pada seluruh tim dan bukan pada pekerja terbaik saja.
  5. Believes in diversity and inclusion – Perusahaan perlu mendefinisikan dan menyampaikan makna diversity dan inclusion. Selanjutnya, inisiatif diversity dan inclusion terus diukur dengan metrik yang jelas dan dikaitkan dengan bonus jajaran eksekutif atau hal lain yang menunjukkan komitmen perusahaan.
  6. Referrals come from employees – Menanyakan apakah karyawan ingin mengajak teman mereka untuk bekerja di perusahaan. Mengajak teman untuk bekerja di perusahaan merupakan pengakuan bahwa perusahaan telah berhasil menciptakan pengalaman yang baik.
  7. Ability to learn new things and given the resources to do so and advance – Perusahaan menyediakan resources agar karyawan dapat mengembangkan diri. Karyawan perlu merasa bahwa jika dia memang ingin berkembang, maka dia bisa berkembang.
  8. Treats employees fairly – Perusahaan perlu meminimalisir bias yang ada dalam aktivitas perusahaan. Dilakukan pula upaya menjelaskan maksud praktik yang adil pada karyawan.
  9. Executives and managers are coaches and mentors – Perusahaan melatih manajer agar memposisikan diri sebagai pelatih dan mentor bagi karyawan. Manajer yang bawahannya menunjukkan performa yang baik diberi penghargaan lebih.
  10. Dedicated to employee health and wellness – Perusahaan memerhatikan bagaimana agar karyawan menjadi lebih sehat. Hal ini dilakukan dengan mengobservasi dan mendengar keluhan karyawan dan kemudian membuat program yang sesuai.

Referensi:
Morgan, J. (2017). The employee experience advantage: How to win the war for talent by giving employees the workspaces they want, the tools they need, and a culture they can celebrate. New Jersey: John Wiley & Sons.

MENCIPTAKAN PUSAT EMPLOYEE EXPERIENCE

Saat dunia kerja mengalami evolusi dan menuntut perubahan, lingkungan fisik di mana pekerjaan dilakukan pun dituntut untuk berubah. Jacob Morgan menemukan bahwa sepertiga dari employee experience ditentukan oleh lingkungan fisik tempat karyawan bekerja. Sayangnya, studi berjudul “The Privacy Crisis” yang diterbitkan perusahaan furnitur Steelcase, menemukan bahwa hampir 90% karyawan tidak puas dengan lingkungan kerja mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan-perusahaan perlu lebih memerhatikan lingkungan fisik mereka.

Morgan menjelaskan bahwa lingkungan fisik perlu dilihat sebagai pusat employee experience dan bukan sekedar titik berkumpul saja. “Ruang” yang sepenuhnya dalam kendali perusahaan merupakan kesempatan yang sangat baik untuk membentuk employee experience. Dalam bukunya, Jacob Morgan membahas karakteristik yang harus diperhatikan perusahaan dalam menciptakan lingkungan kerja fisik yang berdampak positif pada employee experience. Karakteristik-karakteristik itu kemudian disingkat menjadi COOL.

  • Chooses to bring in friends or visitors (Memilih untuk membawa teman atau pengunjung)

    Jacob Morgan menyarankan perusahaan untuk mengizinkan karyawan mengundang teman atau keluarga untuk berkunjung ke tempat kerja. Jika karyawan memilih mengajak orang lain untuk berkunjung, berarti karyawan bangga dan bersemangat dengan pekerjaannya. Membuka kesempatan kunjungan juga dapat menjadi strategi rekrutmen yang baik jika perusahaan Anda memang menarik dan menginspirasi.

  • Offers flexibility (Menawarkan fleksibilitas kerja)

    Dalam survei pada 10.000 karyawan tetap yang dilakukan Ernst & Young (EY), ditemukan bahwa fleksibilitas merupakan hal yang paling diinginkan setelah bayaran yang kompetitif. Upaya perusahaan memberikan fleksibilitas menunjukkan komitmen perusahaan untuk memudahkan hidup karyawan. Saat memperkenalkan workplace flexibility program, perlu ada arahan dan pelatihan tentang batasan dan cara karyawan memanfaatkan flexibility program.

  • Organization’s values are reflected (Mencerminkan nilai-nilai perusahaan)

    Saat Anda berjalan memasuki rumah seseorang, Anda semakin mengenal seperti apakah kepribadian pemiliknya. Saat Anda berjalan memasuki sebuah perusahaan, Anda semakin mengenal seperti apakah nilai-nilai perusahaan tersebut. Sungguh-sungguh mencerminkan nilai dalam lingkungan fisik menunjukkan kejujuran dan integritas perusahaan. Representasi fisik menjadi pertanda komitmen pada nilai-nilai yang tertulis dan bukan sekedar lip service. Ambil waktu berjalan mengelilingi tempat kerja dan catat apakah nilai perusahaan sudah tercerminkan lewat lingkungan fisiknya.

  • Leverages multiple workspace options (Memanfaatkan pilihan tempat untuk bekerja)

    Rumah dirancang dengan memerhatikan fungsi. Setiap ruangan memiliki tujuan yang spesifik. Desain lingkungan fisik tempat kerja pun perlu mengikuti pola pikir ini. Hal ini dilakukan dengan memahami bagaimana pola kerja dan berbagai aktivitas karyawan, baik dengan observasi atau meminta feedback. Pilihan ruang yang tepat sesuai aktivitas memampukan karyawan memberikan hasil kerja yang lebih baik.

 

Referensi:
Morgan, J. (2017). The employee experience advantage: How to win the war for talent by giving employees the workspaces they want, the tools they need, and a culture they can celebrate. New Jersey: John Wiley & Sons.

KISAH TIADA BERUJUNG: MEMELIHARA EMPLOYEE EXPERIENCE

Mengubah dan meningkatkan employee experience tidaklah mudah. Employee experience itu seakan sebuah sasaran yang selalu berubah-ubah. Dalam konsepsi Jacob Morgan, interaksi employee experience digambarkan lewat employee experience design loop yang bentuknya infinity loop, yaitu interaksi bolak-balik yang tidak berujung antara perusahaan dan karyawan. Di saat yang sama, sebuah perusahaan dapat memiliki beberapa employee experience design loop. Setiap bagian dari konsep ini perlu dipahami dan diaplikasikan untuk mengelola employee experience.

Respond

Employee experience design loop memang tidak berujung, namun memudahkan dengan memulai dari respond. Perusahaan perlu memiliki cara menerima masukan secara real-time. Praktik menerima feedback dapat berupa internal social network, survei, focus group, atau mekanisme lainnya. Apapun bentuknya, yang penting feedback terjadi secara terus-menerus dengan beberapa feedback points. Budaya transparansi dibentuk dan manajer merasa nyaman menerima dan meminta feedback.

 

Analyze

Analyze adalah upaya menggali wawasan dan pengertian feedback untuk menentukan langkah design yang selanjutnya. Tantangannya adalah bagaimana memahami data yang sudah dikumpulkan. Pemanfaatan people analytics akan sangat berguna dalam pengerjaan langkah ini karena analyze mesti dilakukan secepatnya agar tindakan yang diambil tepat waktu.

 

Design

Menentukan apa yang akan perusahaan lakukan berdasarkan hasil analyze. Tim lintas fungsi memampukan proses design yang menghasilkan solusi yang lebih baik. Solusi yang dihasilkan perlu dianggap sebagai solusi sementara yang dengan segera menjawab permasalahan. Solusi ini nantinya diubah dan disempurnakan sesuai feedback selanjutnya. Kecepatan lebih berharga dibanding solusi sempurna yang kehilangan momentum.

 

Launch

Meluncurkan dan mengimplementasikan solusi. Cara meluncurkan inisiatif dapat berupa pilot programs, mass announcements, atau campaign. Hal yang perlu diperhatikan adalah jalur menyampaikan solusi ke karyawan dan ambassadors dalam penyebaran informasi launching.

 

Participate

Setelah diluncurkan, solusi akan menjadi realitas baru dan cara bekerja yang berbeda di tempat kerja. Perusahaan perlu memantau apa solusi sudah mencapai karyawan dan memberikan pelatihan atau sosialisasi lebih lanjut sesuai kebutuhan.

 

Referensi:

Morgan, J. (2017). The employee experience advantage: How to win the war for talent by giving employees the workspaces they want, the tools they need, and a culture they can celebrate. New Jersey: John Wiley & Sons.

TEMPAT KERJA BAGI DAN UNTUK MANUSIA

Manusia dewasa menghabiskan hampir 30% waktu hidupnya untuk bekerja. Dengan porsi waktu yang sedemikian besar, bagaimanakah pengalaman Anda di tempat kerja? Ada perusahaan yang membuat karyawannya bersemangat ke tempat kerja, namun ada juga perusahaan yang membuat karyawannya ingin segera mengundurkan diri. Tentunya ada alasan di balik hal ini.

 

Titipan Masa Lalu

Bayangkan Anda ke masa lalu, sebelum adanya robot dan otomasi. Pekerjaan manusia terlihat lebih sederhana, yaitu hanya datang ke tempat kerja dan melakukan hal yang sama setiap harinya. Manusia bekerja seperti robot. Pihak manajeman pada masa itu sebenarnya mendesain perusahaan untuk robot, tetapi menggunakan sumber daya yang tersedia pada zamannya, yaitu manusia!

Dengan berkembangnya teknologi, robot dan otomasi mulai mengambil alih apa yang semestinya menjadi perannya. Dunia kerja berubah dan perusahaan tidak lagi mencari pekerja yang seperti robot. LinkedIn Learning melaporkan bahwa keterampilan yang paling dicari untuk tahun 2020 ini adalah kreativitas, persuasi, kerja sama, adaptasi, dan kecerdasan emosional. Kelimanya merupakan soft skills yang menjadi titik kekuatan manusia. Masalahnya, bawaan desain perusahaan sekarang justru tidak mengakomodasi perubahan ini dikarenakan banyak perusahaan yang masih mengikuti pemikiran lama dan memperlakukan karyawan mereka selayaknya robot. Hal ini tidak sesuai dengan realitas sekarang dan realitas untuk masa yang akan datang.

Memanusiakan Tempat Kerja

Jacob Morgan menyampaikan bahwa berfokus pada manusia akan menjadi prioritas dalam mengubah desain perusahaan. Dalam kata-katanya, bagaimana mengubah desain perusahaan untuk ‘memanusiakan tempat kerja’. Upaya awal mendesain kembali perusahaan perlu dimulai dengan perubahan cara pikir atau mindset:

  1. Menyadari perubahan zaman

    Perusahaan perlu berhenti menciptakan tempat kerja dengan asumsi bahwa karyawan yang membutuhkan pekerjaan dan mulai menciptakan tempat kerja yang benar-benar diinginkan oleh karyawan sebagai tempat kerjanya. Pemikiran bahwa kendali dan pengaruh sepenuhnya di tangan perusahaan tidak tepat saat war of talent semakin ketat.  Akan semakin sulit untuk merekrut dan mempertahankan pekerja dengan talenta terbaik

  1. Menyadari aspek manusia

    Tidak seperti robot yang identik satu sama lain, manusia berbeda satu dengan yang lainnya. Perusahaan perlu benar-benar mengenali siapa karyawan yang bekerja untuknya. Hal ini berarti memberikan upaya lebih, bukan hanya dengan people analytics, namun juga membangun hubungan pada tingkat personal. Kemudian membentuk pengalaman kerja yang bukan dengan asumsi, namun sungguh-sungguh sesuai dengan karakter karyawan di perusahaan tersebut.

 

Referensi:
Pate, D. (2020). The Skills Companies Need Most in 2020—And How to Learn Them. Diakses 29 Januari 2020, dari https://learning.linkedin.com/blog/top-skills/the-skills-companies-need-most-in-2020and-how-to-learn-them.
Morgan, J. (2017). The employee experience advantage: How to win the war for talent by giving employees the workspaces they want, the tools they need, and a culture they can celebrate. New Jersey: John Wiley & Sons.